05 Nov 2008 -
Oleh: Abaraham Firdaus G
1. Periode Kolonial
1.1 Masa Vereenigde Oost-Indische Compagnie (Voc)
Banyak dari kita sudah pernah mendengar kata VOC atau mungkin lebih dikenal kompeni. Syahrudin (2009) menyatakan bahwa VOC adalah sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC (Inggris). VOC diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi : (a) Hak mencetak uang; (b) Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai; (c) Hak menyatakan perang dan damai; (d) Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri; dan (e) Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja. Selama medio 1620 sampai 1795 saat runtuhnya VOC, perusahaan swasta belanda ini menguasai komoditi ekspor dengan pasar eropa. Bahkan, Muttaqiena (2006) menyebutkan bahwa besaran ekspor kopi yang diekspor dapat mencapai lebih dari 85.000 metrik ton. Selain penerbitan uang, belanda masih menggunakan perak untuk menukar dengan rempah-rempah sampai 1870-an.
Pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda.Maka, VOC diambilalih (digantikan) oleh republik Bataaf (Bataafsche Republiek). Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda karena beberapa hal yang membuat VOC menghadapi masalah keuangan yang kacau balau karena perang napoleon, dan blokade kapal Inggris yang menyebabkan pasokan perak dari belanda macet (Muttaqiena (2006).
Bila kita menganalisis sis pandang ekonominya. Aktivitas ekonomi di Indonesia era kolonial lebih mengarah kepada ciri-ciri ekonomi merkantilisme. Merkantilisme adalah suatu teori ekonomi yang menyatakan bahwa kesejahteraan suatu negara hanya ditentukan oleh banyaknya aset atau modal yang disimpan oleh negara yang bersangkutan, dan bahwa besarnya volum perdagangan global teramat sangat penting. Aset ekonomi atau modal negara dapat digambarkan secara nyata dengan jumlah kapital (mineral berharga, terutama emas maupun komoditas lainnya) yang dimiliki oleh negara dan modal ini bisa diperbesar jumlahnya dengan meningkatkan ekspor dan mencegah (sebisanya) impor sehingga neraca perdagangan dengan negara lain akan selalu positif. Merkantilisme mengajarkan bahwa pemerintahan suatu negara harus mencapai tujuan ini dengan melakukan perlindungan terhadap perekonomiannya, dengan mendorong eksport (dengan banyak insentif) dan mengurangi import (biasanya dengan pemberlakuan tarif yang besar) (wikipedia.com, 2011). Ini merupakan implikasi logis dari apa yang disebutkan adam smith “That wealth consists in money, or and silver, is a popular notion which naturally arises from the double function of money, as the instrument of commerce and as the measure of value” (Smith, 1776)
2. Orde Lama (periode paska kemerdekaan)
2.1 Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Masa ini ditandai dengan tingginya angka inflasi akibat terlalu banyaknya uang yang beredar. Tiga mata uang yang berlaku dan sementara diakui oleh pemerintah RI, pada waktu itu adalah mata uang de javasche bank, uang pemerintah belanda, dan mata uang Jepang (Muttaqiena (2006). Ini tentu sejalan dengan teori perilaku harga-harga dan uang, karena dalam hal ini uang beredar sangat banyak dan demand atas uang tetap, maka nilai mata uang anjlog terhadap harga barang (Mankiw, 2006). Keadaan diperburuk oleh beberapa faktor lain, seperti isolasi ekonomi oleh pemerintah Belanda, kas negara yang masih kosong, dsb.
2.2 Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini dikenal dengan masa maxhab klasik yang diterapkan di Indonesia. Perekonomian cenderung diserahkan kepada pasar. Baik itu tingkat harga komoditi, atau pun misalnya dalam hal kekuatan produksinya. Ekses kebijakan ini memperlemah pengusaha pribumi yang baik secara sumberdaya manusia dan modal bertaqmbah lemah bila dibandingkan dengan pengusaha china atau pengusaha non pribumi lain yang pada waktu penjajahan Belanda atau pun jepangv sudah memiliki privilige yang mengakibatkan kekuatan ekonominya lebih besar.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi (muttaqiena, 2006), antara lain :
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi (muttaqiena, 2006), antara lain :
2.2.1. Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
2.2.2. Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
2.2.3. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
2.2.4. Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
2.3 Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967).
Fluktuasi pergolakan politik RI saat itu sangat memepengaruhi kebijakan dan aktivitas ekonomi nya. Mari kita sebut implikasi ekonomi dari dedkrit presiden 5 Juli 1959, yang mengakibatkan Indonesia menjalankan demokrasi terpimpin, dan mengakibatkan juga sistem perokonomiannya berubah menjadi sistem etatisme. Umardiono () menyatakan bahwa etatisme( sistem ekonomi sosialis ) adalah sistem ekonomi yang seluruh kegiatan ekonominya direncanakan, dilaksanakan, dan diawasi oleh pemerintah secara terpusat. Ciri – ciri sistem ini adalah alat-alat produksi dan faktor produksi dikuasai negara, kegiatan ekonomi sepenuhnya diatur oleh negara, harga barang dan jasa ditentukan oleh pemerintah, hak millik perseorangan cenderung tidak diakui. Namun hal ini masih membuat inflasi yang terjadi tetap tinggi. Bahkan pada 25 Agustus 1959 dilakukan devaluasi mata uang rupiah. Namun bukannya menekan malah mengakibatkan naiknya inflasi.
2.4 Masa Orde Baru
Setelah lengsernya Soekarno pemulihan, terutama dibidang ekonomi terus digalakkan. Inflasi terkontrol dan perekonomian mulai berjalan. Sejak Soeharto berkuasa samapai pada tahun 1997, perkembangan perekonomian Indonesia terlihat mengesankan. Tidak ada pertanda yang mengindikasikan krisis. Namun pada pertengahan tahun 1997, mulai terlihat perkembangan indikator makro ekonomi berbalik arah (Rizki dan Majidi, 2009).
2.5 Masa Reformasi
Krisis Ekonomi 1998 menyebabkan krisis politik yang menggulingkan Rezim “the Smiling General”, presiden Soeharto. Kondisi krisis 1998 menyebabkan perbankan mengalami kesulitan likuidasi. Hal ini sebenarnya memungkinkan pemerintah dan BI, sesuai UU, untuk mengenakan stop kliring (dimatikan). Tetapi opsi tersebut tidak diambil karena tidak realities dalam kondisi krisis. Karena keadaanya illiquid bukan insolvent maka sesuai dengan kesepakatan IMF dicairkanlah paket kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Kemudian juga pemerintah menyubtik dana rekapitulasi perbankan dan restrukturisasi perbankan dan program penyehatan perbankan lainnya(Rizki dan Majidi, 2008).
Menurut beberapa kajian, Negara-negara yang mengalami krisis perbankan memang rata-rata tingkat pengembaliannya hanya sebesar 20-30 %. Begitu juga Indonesia, hanya sekitar 26% dari asset. Ini bearti sekitar 74% biaya recovery krisis ditanggung oleh pemerintah. selain itu, besaran biaya masing2 negara2 berbeda – beda. Indonesia, untuk sekadar gambaran relative, kita, biaya krisis dari 1997-2000 adalah 650 trilliun sedangkan untuk tahun 2000 saja, PDB kita hanya 1282 trilliun, sebelumnya bahkan lebih kecil. itu kalau dibandingkan dengan PDB (penjumlahan transaksi barang dan jasa secara agregat makro), belum lagi jika dibandingkan dengan penerimaan Negara yang hanya Rp.204,9 Trilliun. Ini mengapa biaya krisis yang dikeluarkan ternyata terlampau besar dan melebihi dari yang selayaknya kita keluarkan (Rizki dan Majidi, 2008). Kita belum menghitung Potential loss.
Kondisi Perbankan setelah kontraksi perekonomian 1998 masih belum optimal dibuktikan dengan Angka LDR bank umum sebesar 66,3% pada tahun 2007 dinilai masih belum optimal. Kondisi normalnya adalah antara 85-100% (sumber Bank Indonesia dalam Rizki dan Majidi, 2008).
Krisis Perumahan Amerika, Krisis Keuangana Dunia Dan Perbankan Di Indonesia
Walaupun Indonesia tidak terpengaruh signifikan pada keseluruhan ekonomi Indonesia, namun krisis keuanganglobal tetap berpengaruh pada sector perbankan di Indonesia sedikit banyaknya. Berikut kronologi krisisi keuangan global yang dimulai dari krisis perumahan amerika(detikfinance.com, 2009):
2004: dipicu oleh perubahan arah kebijakan moneter AS yang mulai ketat, tren peningkatan suku bunga mulai terjadi dan terus berlangsung sampai dengan 2006. Kondisi ini member pukulan berat pada pasar perumahan AS, yang ditandai dengan banyaknya debitur yang mengalami gagal bayar.
Tahun 2007: pada Agustus BNP Paribas tidak sanggup mencairkan sekuritas yang terkait dengan subprime mortgage. The Fed memangkas suku bunga menajdi 4,75%. Oktober, kerugian besar maupun Lemabga keuangan seperti UBS Bank,Citi Bank, dan Merry Lynch. The Fed menurunkan suku bunga menjadi 4,5%.
Tahun 2008: Pasar saham global berjatuhan, Bear Streans (big 5 Bank Investasi Amerika), diakuisisi oleh JP Morgan, Lehman Brothers bangkrut. The Fed menurunkan suku bunga sampai 0,25%. Pemerintah menyetujui paket penyelamatan sebesar US$ 700 Milliar.
Pengaruhnya terhadap perbankan di Indonesia:
Dampak secara signifikan tidak terlalu menonjol karena regulasi Indonesia tidak mengijinkan pembelian Instrumen derrifative dengan resiko yang tinggi di luar negeri. Namun demikian perbankan di Indonesia berada dalam posisi defensive. Bahkan apabila melihat data NPL tahun 2004-2006 mengalami kontraksi walaupun tidak berarti besar.
Beberapa kebijakan di Indonesia terkait perbankan juga merespon krisis tersebut. Kemudian - Penaikkan BI rate menjadi 9,5% untuk mengantisipasi depresiasi terhadap nilai Rupiah dengan meningkatkan atraktifitas investasi dalam nilai Rupiah akibat spread bunga domestik dan luar negeri yang cukup tinggi;
- Peningkatan jumlah simpanan di bank yang dijamin oleh Pemerintah dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 milyar, untuk mengantisipasi rush akibat kekhawatiran masyarakat terhadap keamanan simpanannya di bank. Hal ini dilakukan dengan pengeluaran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (Perpu);
- Perluasan jenis aset milik bank yang boleh diagunkan kepada BI, yang tadinya hanya meliputi aset kualitas tinggi (SBI dan SUN), namun melalui Perpu, aset yang dapat dijaminkan diperluas dengan Kredit lancar milik bank (ditujukan untuk mengantisipasi turunnya harga pasar SUN, yang terlihat dengan naiknya yield). Hal ini ditujukan untuk mempermudah Bank dalam mengatasi kesulitan likuiditas, sehingga dapat memperoleh jumlah dana yang cukup dari BI.
yang paling popoler akibat kebijakan pemerintah dalam merespon krisis keuangan global dan yang paling controversial adalah bail out bank century. Sebetulnya bail out ini mengingatkan kita akan kesalahan krisis moneter 1998 yang ditengarai oleh banyak ahli “dibayar terlalu tinggi” dengan resiko kerugian potensial yang terlalu besar.
- Peningkatan jumlah simpanan di bank yang dijamin oleh Pemerintah dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 milyar, untuk mengantisipasi rush akibat kekhawatiran masyarakat terhadap keamanan simpanannya di bank. Hal ini dilakukan dengan pengeluaran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (Perpu);
- Perluasan jenis aset milik bank yang boleh diagunkan kepada BI, yang tadinya hanya meliputi aset kualitas tinggi (SBI dan SUN), namun melalui Perpu, aset yang dapat dijaminkan diperluas dengan Kredit lancar milik bank (ditujukan untuk mengantisipasi turunnya harga pasar SUN, yang terlihat dengan naiknya yield). Hal ini ditujukan untuk mempermudah Bank dalam mengatasi kesulitan likuiditas, sehingga dapat memperoleh jumlah dana yang cukup dari BI.
yang paling popoler akibat kebijakan pemerintah dalam merespon krisis keuangan global dan yang paling controversial adalah bail out bank century. Sebetulnya bail out ini mengingatkan kita akan kesalahan krisis moneter 1998 yang ditengarai oleh banyak ahli “dibayar terlalu tinggi” dengan resiko kerugian potensial yang terlalu besar.
DAFTAR PUSTAKA
Detikfinance.com.2009. Kronologi dan Latar belakang Krisis Finansial Global. http://www.detik finance.com/read/2009/15/120601/1115753/5/kronologi-dan-latar-belakang-krisis-finansial-global. Diakses pada januari 2011.
Ghofur, Abraham Firdaus. 2010. Diskusi Film Wall Street. Ikatan Mahasiswa Tegal: Tangerang
Muttaqiena, Abida.2008. Analisa Sejarah Perekonomian Indonesia. http://muttaqiena.blogspot.com/2008/06/analisa-sejarah-perekonomian-indonesia.html. diakses pada 22 januari 2011
Rizki, Awalil, Nasyith Majidi. 2009. Neo-liberalisme mencengkeram Indonesia E. Publishing Company: Jakarta.
Smith, Adam.1776. An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. Methuen & Co. ltd: London.
Syaharuddin. 2010. Sejarah perekonomian Indonesia. http://syaharuddin.wordpress.com/2009/10/04/sejarah-perekonomian-indonesia-materi-kuliah-sej-perekonomian-ind-reg-a/. Diakases pada 22 Januari 2011.
Umargiono.2011.Sistem perekonomian indonesia. http://www.scribd.com/doc/11487650/Bab-17-Sistem-Perekonomian-Indonesia. diakases pada 22 Januari 2011.
Mankiw, N. Gregory. 2006.Principle Of Economics. Penerbit Salemba Empat: Jakarta.
Alat Bantu Sex