Ketika menulis tentang Bung Hatta (BH) saya jadi teringat artikel Faisal Basri, seorang pegamat ekonomi, yang terbit sekitar tahun 2007 di e-book. Bagaimana ia menggambakan kerumitan tantangan bangsa ini menghadapi permasalahan perekonomian tentunya sangat sudah mafhum diantara kita. Namun, hal yang paling menarik diakhir tulisan adalah bagaimana dia secara fundamental ”curhat” pada apa yang kita sebut kerinduan akan khittah tujuan perekonomian bangsa kita. Sebentar saya kutip kata-kata beliau:
”Kita boleh-boleh saja menetapkan target tinggi. Namun, yang lebih penting dan paling mendasar ialah bagaimana cara mencapainya. Apalah artinya target tercapai, tapi tanpa perbaikan kualitas. Jauh lebih mudah menggelembungkan pertumbuhan ekonomi ketimbang membangun fondasi yang kokoh bagi terwujudnya ekonomi yang berkeadilan dan sekaligus mengangkat derajat kehidupan bagi seluruh rakyatnya”. (Faisal Basri 2007)[1]
Allah hu akbar..setelah sekian tahun itu tulisan nangkring di leptop temen saya, saya baru sadar kalau apa yang seharusnya pemimpin negeri ini lakukan, telah ditemukan. Kembali ke khittah ekonomi Indnesia. Tidak lagi untuk citra politikus tertentu, namun mengakar pada apa yang kita sebut kesehteraan rakyat dan keadilan. Mau contoh, tilik Bung Hatta (BH). Tidak usah jauh2x menbenchmarking china atau India. simple ”koperasi” dan konsisten pada kemauan membangun bangsa bukan saya, dia, hindun, hanya kelompok A-B C dsb.
Wikipedia hanya menyediakan itu untuk tau bagaimana koperasi. Namun tidak tau bagaimana kekirian hatta membangun ide ini, yang ternyata membidani sebuah potensi yang besar untuk khittah yang benar2x atas tujuan perekonomian kita. Memang bangsa kita terlalu besar untuk memilih dipihak mana kita prefer, kutub kapitalis atau sosialis terlalu naif, tetapi tidak dipungkiri alir pemikiran hatta amat didukung sosialis. Keadaan amarah kaum prolettar saat itu untuk menghabisi kesombongan Kapitalisme memang relevan bagi konteks negara kita yang ”baru” untuk tidak dilumat barat. Apalagi terbukti sekali “Pencarian kapitalistik untuk memburu keuntungan sebagai sesuatu yang paling berharga, bertentangan secara radikal dengan hasrat-hasrat manusia untuk pangan, papan dan nilai guna lainnya” [2]. Kalau bahasa saya, bertentangan dengan khittah ekonomi sendiri, membunuh plasma nutfah tujuannya.
Ini yang menarik dari Koperasi. Azasnya kekeluargaan dan tujuannya adalah kesejahteraan bersama. Sejauh tidak digunakan sebagai komoditas retorika politik (baca: Prabowo), hemat penulis, akan menjadi satu kekuatan tersendiri karena pertama, berpijak pada sektor riil. Kedua, benar-benar menjadi tonggak perputaran perekonomian (wikipedia.com,2008). Contoh: komunitas kompleks A demandnya setidaknya adalah beras 3 ton sebulan, sabun caci 20 kardus besar @ 30 pieces,sabun mandi 30 kardus, lauk pauk 500 paket macam2x jenis. Untuk memenuhi kebutuhan ini dibangunlah kperasi komunitas komplek A untuk memenuhi kebutuhan itu. Anggotanya adalah orang2x situ dengan pengurus dipilih dari yang mau dan mampu.beres. setiap tahun ada Rapat Anggota tahunan dan ada pembagian hasil. Semua terbangun dalam sikap gotong royong dan esensi pemenuhan atas kebutuhan, tercapai. Ada Check and balances dari ”Stake holder”, karena konsumen dan Pekerja (pengurus) mempunyai keikatan yang sama untuk tidak rugi, bargaining possition diantara keduanya sama (ini point point penting)[3]. Tidak satupun menindas yang lain. Bayangkan ini dikembangkan menjadi sesuatau yang diterapkan lebih luas menjadi apa yang kita sebut sistem suatu perekonomian suatu bangsa.
Dan untuk keberhasilan lebih luas, pemerintah harus sepenuhnya campur tangan, toh tidak ada statement dari pemerintah bahwa kita harus menganut paham ekonomi liberal ala keynesian yang oleh jhon locke disebut sebagai kaum yang merdeka. Bahkan tidak pula untuk sebaliknya. Pemerintah sejauh kita tahu kita pilih, kita dirikan untuk membuat kita merasa aman, menyediakan pendidikan, memelihara para papa dan mengenyangkan perut rakyatnya dsb(lihat UUD 1945). UUD 45 tidak meneybutkan investasi asing, tidak menyebutkan penerimaan diplomasi untuk membuka pasar bagi negara yang kelebihan produksi, juga tidak bilang sebagian kaya sebagian harus miskin.
Disinilah dimana sebenarnya BH menjadi satu corak yang sangat berharga dalam perjalanan sejarah, terutama perekonomian, bangsa. Menjadi tokoh yang ikut mebantu persalinan bangsa ini, sekaligus menorehkan pemikiran yang sangat orisinal dan sangat berpotensi untuk menjadi, meminjam kata-kata Alvin dan Heidi Toffler, peradaban baru, tapi dalam lingkup perekonomian .Bahkan sebelum nilai-nilai ekonomi gelombang ketiga dibubuhkan oleh Alvin dan Heidi Toffler, konsep koperasi hatta, setidaknya menurut penulis, memenuhi syarat syarat itu, pekerja-konsumen-produsen diposisikan sebagai komponen kehidupan pabrik namun merupakan faktor – Faktor paska-pabrik yang lebih individualitas (bukan individualisme) (lihat Alvin-Heidi Toffler, menciptakan peradaban baru, hal97-101)[4].
Bahkan dalam resensi buku Beberapa Fasal perekonomian Indonesia karangan BH di Jurnal Pesantren Ciganjur, menyebutkan konsep industrialisasi yang dicuatkan oleh BH menggaris bawahi tujuan fundamental industrialisasi Indonesia seharusnya berpijak atas dasar pemenuhan kebutuhan Masyarakat domestik sebelum melakukan ekspor[5]. Dan atas jawaban pada over demand yang tidak terpenuhi hanya jika mengandalkan sektor pertanian. Kenapa ini begitu penting, karena kasus yang terjadi adalah disinyalirnya tujuan ganda atas proses Industrialisasi di Amerika Latin[6]
Penutup
Diatas segalanya memang kita harus berpikir ulang dan mengkaji ulang identitas kita (Indonesia), memejamkan mata untuk mencari plasma nutfah tujuan kita dan membuka mata sebagai bangsa yang sadar / Wholeness of nation (modifikasi dari The Wholeness of self:semacam tujuan dari proses menggali karunia yang unik dari dalam diri)[7]. Dan lagi-lagi pemikiran bung hatta tentang ekonomi sangat mempengaruhi corak kebijakan yang ada pada orde lama[8]. walaupun mungkin konteks peta perpolitikan negara di dunia saat itu mendukung tumbuhnya kebijakan tersebut[9].
[1] Artikel diakses via internet (kalo tidak salah di detik.com, jgn kuatir saya ada kogs, masih disave)
[2] Dapat dilihat di das kapital (baik yang karangan Karl Marx, ataupun yang fersi untuk pemula), dan sudah dirangkum sedemikian rupa dengan tentunya memperhitungkan subyektivitas penulis.
[3] Terutama bila dibandingkan dengan konsep korporasi, adanya prinsip agency dan lain sebagainya. Secara sederhana mungkin bisa diakatakan bahwa bargaining possiton tertinggi ada pada pemilik modal (pemegang saham) selanjutnya Top manajemen, yang memungkinkan ketidakadilan pada pihak buruh . Ibid.,...
[4] Individualitas disini diserap oleh penulis sebagai sikap penghargaan kemanusiaan. Sedangkan individualisme menurut penulis digamarkan sebagai sikap mementingkan diri sendiri (lagi2 lihat Alvin-Heidi Toffler, menciptakan peradaban baru)
[5] Lihat jurnal Pesantren Ciganjur, 2007
[6] Lihat John William et al,..yang mendiskusikan tentang 10 point konsensus washington. Dalam hal ini bahkan diragukan apakan Industrialisasi versi ini dan yang memang kenyataanya dipraktekan di Indonesia terutama paska orde baru akan relevan dengan pure purpose dari perekonomian Indonesia sesuai konstitusi, karena memang Kebijakan ekonomi yang diusulkan Washington untuk negara lain dapat disimpulkan sebagai kebijakan ekonomi makro prudent, berorientasi keluar, dan kapitalisme pasar bebas.
[7] lihat Titik Ba, Ahmad Tha Faz,2007,hal.145-146
[8] Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Pokok Agraria atau yang lebih dikenal sebagai UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). Hari kelahiran UUPA 1960 oleh Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden Nomer 169 Tahun 1963, dijadikan sebagai Hari Tani Nasional. Dalam kebijakan ini mengandung sebuah keyakinan ukuran keadilan dapat dilakukan dengan melakukan re-distribusi tanah secara adil (land reform)
[9] Lihat perekonomian Indonesia, __________________________